Rabu, 23 Maret 2022 Reporter: Aldi Geri Lumban Tobing Editor: Andry 3331
(Foto: doc)
Perkembangan Jakarta ke depan terus menjadi perbincangan seiring rencana dipindahkannya Ibu Kota Negara (IKN) ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Mantan Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012, Fauzi Bowo yang akrab disapa Foke menilai, perlu adanya fondasi penting dalam perumusan undang-undang kota Jakarta yang baru sebagai landasan hukum.
Antara lain terkait kedudukan atau status Jakarta apakah tetap mengandung sifat daerah khusus atau istimewa hingga struktur pemerintahan otonom pada tingkat provinsi atau tingkat kota.
“Kemudian hubungan khusus pusat dengan Pemprov Jakarta Raya serta perimbangan keuangannya. Termasuk cakupan wilayah Jakarta, apakah seluas sekarang atau diperluas,” ujar Foke, Rabu (23/3).
Foke menyampaikan, perumusan Undang-Undang Tentang Kekhususan Jakarta, secara substansi harus mencerminkan kebutuhan Kota Jakarta Raya di masa depan. Sehingga, Jakarta dapat terus berkembang positif sebagai pusat ekonomi keuangan, perdagangan dan logistik, industri informasi, pusat kajian ilmiah, sejarah bangsa, seni budaya dan lainnya.
Menurut Foke, belajar dari pengalaman kota-kota besar di dunia, sudah menjadi keharusan Jakarta memiliki roadmap, jadwal program legislasi dan lain sebagainya. Penyempurnaan dan masukan-masukan tetap diperlukan karena ada masalah dan isu yang tidak mungkin dibahas dalam waktu singkat.
“Perlu adanya keinginan serius untuk menyusun landasan hukum terbaik dan realistis yang dapat diimplementasikan demi masa depan Jakarta,” katanya.
Foke mengungkapkan, salah satu contoh skenario kehancuran pernah dialami Kota New York, Amerika Serikat pada awal 1970-an. Berbagai kebijakan yang diputuskan eksekutif maupun legislatif di kota tersebut tidak kondusif, suasana perekonomian dan dunia usaha sangat buruk.
Begitu pula dengan laju inflasi yang tidak terkendali dengan pajak terus dinaikan, ekonomi regional mengalami kontraksi pengangguran dan tingkat kriminalitas meningkat.
Selain itu, sambung Foke, pendapatan daerah di kota tersebut merosot tajam, kemampuan melayani masyarakat juga akhirnya kolaps yang meliputi aspek kesehatan, pendidikan, infrastruktur, keamanan, ketertiban lingkungan dan lain-lain.
“Akibat lanjutan dari hal ini tidak ada kegiatan investasi. Bahkan, banyak perusahaan besar pindah keluar dari New York karena pajak terlalu tinggi, keamanan semakin buruk hingga infrastruktur yang terlantar," tuturnya.
Foke menilai, investor pastinya tidak akan tertarik apabila peraturan-peraturan yang ada berbelit-belit, tidak transparan, apalagi berjenjang-jenjang.
“Hal yang tidak boleh terjadi ini dapat diantisipasi. Salah satunya dengan otonomi tunggal pada tingkat provinsi,” ungkapnya
Ia menjelaskan, kota merupakan entitas yang hidup berkembang dinamis dan dalam pasang surut perjalanannya akan dapat mengalami dua alternatif skenario pada kurun waktu tertentu.
Pertama, skenario pertumbuhan positif (growth scenario) yang menuntun kota menuju tingkat kesejahteraan yang semakin baik. Kedua skenario negatif atau kontraktif (decay scenario) yang akan membawa kota ke arah semakin buruk dan akhirnya ke arah kehancuran.
Foke mengingatkan, pilihan skenario ini sepenuhnya ada di tangan pemangku dan pengambil keputusan, baik itu pimpinan eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik (parpol), para cendikia, perguruan tinggi, lembaga ilmiah, masyarakat madani (civil society), lembaga sosial masyarakat, jaringan media massa dan media sosial, lembaga keagamaan, tokoh keagamaan, para alim ulama dan sebagainya.
“Saya mengingatkan, Jakarta adalah megacity by any standart. Dari ukuran standar manapun Jakarta adalah kota besar. Dalam hal ini, para pemangku kepentingan perlu pahami pentingnya kedudukan masing-masing dalam mengambil keputusan yang tepat,” ucapnya.
Ia menambahkan, dalam alam demokrasi, suara rakyat melalui parpol atau parlemen akan sangat menentukan masa depan suatu bangsa negara dan juga wilayah kota tempat beraktivitas dan bermukim. Maka dari itu, prosesnya harus berjalan transparan dan harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan, khususnya parpol-parpol di DPR RI.
“Kajian ilmiah harus profesional. Banyak contoh buruk yang tidak boleh terulang. Jangan sampai diputuskan sepihak dan jangan ada fetakompli,” tandas Foke.