Selasa, 01 Desember 2015 Reporter: Nurito Editor: Budhy Tristanto 8616
(Foto: Nurito)
Outlet proyek sodetan - Ciliwung Kanal Banjir Timur (KBT) di perempatan Jl DI Panjaitan, Kebon Nanas, Jatinegara, Jakarta Timur, aktivitasnya terhenti karena aksi penyegelan oleh pemilik lahan.
Belasan anggota Komisi V DPR yang melakukan kunjungan kerja pun tidak dapat masuk ke arael proyek sodetan. Mereka hanya memantau dari luar, karena pemilik lahan menggembok pagar dan memasang dua plang berukuran 1x1,5 meter bertuliskan, Tanah Milik PT Subur Brothers berdasarkan sertifikar HGB 00508.
Manajer Proyek PT Wijaya Karya, Ismu Sutopo menyebutkan, penyegelan areal outlet sodetan sudah dilakukan sejak sebulan lalu. Akibatnya, sekitar 100 pekerja tidak bisa lagi beraktivitas. Bahkan seluruh alat berat ilik perusahaan kontruksi ini sudah dikeluarkan dari areal proyek sodetan.
“Sudah satu bulan lahan disegel pemiliknya. Kami juga sudah tidak melakukan aktivitasnya lagi. Seluruh pekerja yang berjumlah kurang lebih 100, sementara menganggur,” ujar Ismu, Selasa (1/12), saat menerima kunjungan anggota Komisi V DPR RI.
Kepala Bidang Pelaksanaan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC), Bastari menambahkan, bagian outlet sodetan Ciliwung - KBT ini terdapat lima bidang tanah yang luasnya mencapai 2.293 meter persegi. Jika dibayarkan seluruhnya maka nilainya mencapai Rp 36 miliar.
Persoalannya, kata Bastari, lahan tersebut saat ini sedang mengalami masalah dan hanya satu bidang seluas 1.163 meter persegi yang bisa dibayarkan dengan nilai Rp 18 miliar. Satu bidang seluas 106 meter persegi tidak bisa dibayar karena tidak memiliki surat-surat tanah.
Belakangan diketahui lahan tersebut adalah tanah garapan milik pemerintah. Letaknya persis di belakang atau pinggir Kali Cipinang.
“Tiga bidang lainnya surat Hak Guna Bangunannya (HGB) sudah kadaluarsa sejak tiga tahun lalu. Atas hal ini ada dua pendapat yang berbeda. Sehingga harus disikapi dengan bijak,” ujar Bastari.
Bastari melanjutkan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berpendapat bahwa walau HBG kadaluarsa namun lahan masih bisa dibayarkan.
Sedangkan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta berpendapat, lahan tidak bisa dibebaskan dan harus dikembalikan pada negara. Dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah (PP) nomor 40/96 tentang Hak Guna Bangunan, jika sudah kadaluarsa maka lahan harus dikembalikan ke negara. Hal ini juga diatur dalam UU nomor 5/60 tentang Pokok-pokok Agraria.
“Karena dasar itulah kami hanya bisa membayar satu bidang namun mereka minta lima bidang harus dibayar. Rencana pembayaran ini masih menunggu pendapat hukum dari Kejati DKI Jakarta,” kata Bastari.