Jumat, 10 Juli 2015 Reporter: Andry Editor: Agustian Anas 5811
(Foto: doc)
Biro Hukum DKI Jakarta hingga kini masih mengkaji sejumlah perjanjian pengelolaan aset daerah dengan pihak swasta yang isi dari kontraknya merugikan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
Perjanjian yang tengah dikaji itu di antaranya pengelolaan aset berupa pemanfaatan lahan dengan PT Bakrie Swastika Utama di Rasuna Said Kuningan Jakarta Selatan dan PT Tunas Dipta Persada di Kalibesar Timur Pinangsia, Jakarta Barat.
Kepala Bagian Pelayanan Hukum Biro Hukum DKI, Sulafide Sihite mengatakan, dari hasil penyisiran berkas, sejumlah kontrak perjanjian pengelolaan aset daerah dengan pihak swasta, banyak yang melemahkan Pemprov DKI. Di antaranya perjanjian kontrak dengan PT Bakrie Swastika Utama dan PT Tunas Dipta Persada.
"Kontrak pengelolaan aset dengan PT Bakrie Swastika Utama dari 22 Agustus 1992. Luas aset lahannya ada 16 hektare. Itu dibagi dua, kepada PT Bakrie Swastika dan PT Darma Aluma Sakti. Sebagian besar dikelola PT Bakrie," kata Fide, Jumat (10/7).
Fide menjelaskan, di perjanjian dengan PT Bakrie, ada masa pengelolaan aset selama 48 tahun yang jika dihitung masa pembangunan lima tahun dari kontrak di 1992, maka akan berakhir pada 2044. Di aset lahan seluas 16 hektare itu, ada empat areal PT Bakrie berupa kavling komersil dan non komersil.
"Aset yang non komersil sudah diserahkan kepada kita yakni GOR Soemantri Brodjonegoro dan Gedung Nyi Ageng Serang. Tapi ada satu area komersil yang sifatnya Build Operation Transfer (BOT), dibangun dulu baru ditransfer asetnya," terangnya.
Aset komersil itulah yang perjanjian kontraknya masih dikaji Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) dan Biro Hukum DKI dengan meminta pendapat dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). "Jadi BPKAD ingin BPKP memberi pendapat terhadap are komersil itu, apakah merugikan Pemda atau tidak," jelas Fide.
Menurut Fide, di dalam kontrak pengelolaan aset dengan PT Bakrie, disebutkan adanya denda apabila mereka tidak melaksanakan ketentuan sesuai perjanjian. Namun yang menjadi persoalan, apabila perusahaan itu membangun area komersil saat ini apakah terhitung masuk masa pembangunan atau pengelolaan. "Karena kalau dihitung masa pembangunan, maka masa pengelolaan berlaku pada saat selesai pembangunan. Jadi perjanjian itu selesai bukan di tahun 2044," lanjutnya.
Fide melihat, perjanjian pengelolaan aset yang dibuat semasa
Gubernur Wiyogo Atmodarminto itu sangat melemahkan Pemprov DKI. Karena di perjanjian itu ada klausul yang mengikat cukup berat yang bilamana dibatalkan, Pemprov DKI harus mengembalikan investasi perusahaan itu selama ini."Jadi ini membuat kita agak terbelenggu. Walaupun di klausul itu pembatalan perjanjian secara sepihak dimungkinkan. Tapi syaratnya ya harus kembalikan semua aset yang sudah diserahkan ke kita," jelasnya.
Lemahnya perjanjian kontrak pengelolaan aset Pemprov DKI dengan pihak swasta juga terjadi pada PT Tunas Dipta Persada dengan aset lahan seluas 1300 meter persegi di wilayah Kalibesar Timur, Pinangsia, Jakarta Barat.
"Di aset tanah itu tidak ada pembangunan dan tidak setor royalti. Bahkan lahan tersebut saat ini justru dimanfaatkan jadi area parkir liar oleh pihak lain," terang Fide.
Fide mengutarakan, sesuai dengan semangat dari Gubernur, penyelesaian kasus lemahnya kontrak perjanjian pengelolaan aset ini diupayakan dengan jalan renegosiasi atau penyesuaian perjanjian tanpa harus mengambil langkah hukum.
"Semangatnya Pak Gubernur ingin merenegosasi kapan aset milik kita itu mau dibangun. Saat ini kita tengah membahas dengan BPKP dan BPKAD untuk melihat semua isi kontrak kerja dengan pihak swasta," tandasnya.