Matahari beranjak menuju puncak ubun-ubun. Berkas sinarnya garang menerangi sebagian bumi. Panasnya cuaca siang itu, makin terasa menyengat dengan suara deru mesin kendaraan pasukan tentara sekutu yang konvoi melintasi jalan kecil berdebu di sisi timur Jakarta .
Sementara, di balik rimbun pepohonan dan ilalang pinggir jalan, ratusan orang mengendap, menanti dengan degup jantung kencang. Berbagai perasaan berkecamuk dalam diri mereka, ada resah, gundah dan takut. Seketika, semua rasa itu hilang seiring dengan teriakan komando "Serang..."
Serentak, ratusan orang yang terdiri dari Laskar Rakyat, Barisan Banteng Republik Indonesia, pasukan pencak silat yang dipimpin jawara Klender KH Darip, serta anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR), menyerbu konvoi pasukan tentara sekutu yang ingin melakukan serangan ke Bekasi dari markas mereka di Warung Jengkol (Pulogadung saat ini).
Mendapat serangan mendadak, pasukan sekutu dari Divisi Punjab ke-1/16, Squadron Kavaleri FAVO ke-11, pasukan Perintis ke-13, pasukan Resimen Medan ke-37, Detasemen Kompi Medan ke-69, dengan dukungan lima meriam, beberapa mortir dan kanon, coba bertahan dengan memuntahkan tembakan.
Desingan peluru, tak membuat gentar para pejuang. Dengan senjata bambu runcing, pedang serta golok, mereka menerjang mendekat.
Ancaman kematian bagai alunan mazmur misteri takdir yang diyakini akan membawa mereka ke surga. Perlawanan sengit para pejuang, memaksa pasukan sekutu 'balik kanan' ke arah Pondok Ungu. Namun, di sana mereka sudah dihadang pasukan Hizbullah pimpinan KH Noer Ali dan dua regu pasukan TKR laut Pimpinan Mayor Madnuin Hasibuan.
Pertempuran sengit di wilayah Cakung yang terjadi pada 29 November 1945 itu, menjadi rangkaian catatan sejarah peristiwa 'pembumihangusan' Bekasi oleh sekutu kala itu. Panglima Sekutu Inggris di Indonesia, Letjen Philip Christison, yang merasa sulit menembus pertahanan pasukan Indonesia, terpaksa mengerahkan pesawat udara untuk memborbardir wilayah Bekasi
Di balik kisah patriotik para pejuang mempertahankan kedaulatan bangsa, peran senjata yang mereka gunakan saat itu tentu tak bisa ditampik. Sebab, orang yang berakal akan pergi ke medan perang membawa senjata.
Salah satu senjata yang digunakan pejuang dalam rentetan peristiwa lautan api di Bekasi pada 1945 adalah Golok Cakung. Senjata tajam yang bilahnya memiliki panjang antara 30 hingga 47 sentimeter dengan lebar bervariasi anatra 3,5 sampai empat sentimeter ini, banyak digunakan para jago silat untuk melawan tentara sekutu.
"Golok Cakung, juga memiliki peran penting dalam mengusir kaum penjajah. Para pendahulu, mengandalkan golok ini untuk berperang melawan musuh-musuhnya," tutur Agus Syahadat, salah sorang pewaris dan pemilik Golok Cakung.
Pendekar silat dari Perguruan Bedok Latih di Jalan Rawa Kuning RT 01/16 Kelurahan Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur, mengaku memiliki golok yang diyakininya pernah digunakan dalam pertempuran melawan tentara sekutu di daerah Cakung.
"Golok tersebut saat kita temukan masih ada noda bercak darahnya," ungkap Agus.
Sejarah Golok Cakung
Sejarah Golok Cakung dimulai sejak abad 14-15 Masehi. Diawali dari kedatangan pasukan gabungan Mongol dan Tiongkok yang dipimpin Laksamana Sam Po Lo bersama mertuanya dari Makassar Ki Daeng Para'u, serta sepupunya Laksamana Lo Kian Zhie ke wilayah pesisir Pulau Jawa bagian barat yang saat itu dikuasai Pajajaran.
Oleh Prabu Siliwangi, rombongan ini diberi izin untuk menetap dan mendirikan benteng di wilayah Pulo Aren, salah satu wilayah dataran tinggi yang dikelilingi rawa-rawa.
Kedua Laksamana itu, kemudian mendirikan benteng yang diberi Cha-Kung yang artinya daya upaya. Di dalam benteng ini, mereka melatih pasukannya. Sementara, mertuanya tinggal di luar sekitar bentengan bersama pengikutnya. Kemudian, nama tempat mereka tinggal itu dikenal dengan Kampung Padaengan.
Konon, di dalam benteng Cha-Kung inilah Ki Daeng Para'u membuat senjata, termasuk golok yang akhirnya dikenal dengan Golok Cakung.
Menurut Agus, sampai saat ini alat tempat pembuatan golok ini masih ada. Kemudian makam pembuatnya maupun tokoh-tokoh sejarah di Cakung juga masih ada, dekat Masjid At Tawwab, Cakung Barat.
"Itulah kenapa dinamai Golok Cakung karena dibuat di Cakung sekitar abad 14 dan 15 silam," ungkap Agus.
Berdasarkan literasi, disebutkan ada empat Mpu pembuat Golok Cakung. Pertama adalah Ki Daeng Para'u dengan ciri golok bergagang kepala lindung yang terbuat dari kayu nagasari.
Kemudian yang kedua adalah Ki Nambirin, menantu kedua Daeng Para'u dan Mpu ketiga yaitu Ki Daimin Dua Hawu, menantu ketiga Daeng Para'u dengan ciri golok ceker kidang yang terbuat dari kayu nagasari.
Mpu keempat adalah Aki Bairah, menantu Ki Daimin. Golok buatan Aki Bairah berciri ceker kidang yang terbuat dari kayu nagasari dan tanduk kerbau.
Disebutkan Agus, sebenarnya Golok Cakung ini banyak bertebaran di wilayah Karawang, Bekasi hingga Banten.Ia menyebut saat ini ada tujuh Golok Cakung masih dirawat para pewaris yang terpisah tempat tinggalnya.
"Sebenarnya dulu waktu diinventarisir ada sekitar 50 bilah golok dengan bentuk dan model yang sama. Namun belakangan banyak yang hilang, rusak dan kondisi tak utuh karena termakan usia," tukasnya.
Saat ini pewaris Golok Cakung itu ada yang sudah terdata ada yang belum. Yang terdata ada tujuh yakni Suhu Jaja atau Surya Atmaja, Agus Syahadat, Babe Miskun atau Cang Bonok, Irwan Cakung Barat, Ustad Topik Tombo Ati. Selanjutnya Kyai Muklis dan Budi yang tinggal di Bintaro.
Batu Meteor
Dibanding golok lain, jelas Agus, Golok Cakung rata-rata panjang bilahnya antara 30 hingga 47 sentimeter. Kemudian lebarnya variasi antara 3,5 - 4 sentimeter. Untuk gagangnya, ada yang menggunakan tanduk Rusa, Kebo Bule dan Kayu Nagasari.
"Rata-rata kondisinya sudah retak atau pecah karena termakan usia," ucap Agus.
Ciri khas lainnya dari golok ini adalah, pada bagian ujung bilahnya bentuknya ujung turun atau orang menyebutnya candung. Namun ada juga bentuknya salam nunggal dan kembang kacang.
Golok Cakung ini juga memiliki banyak kandungan di dalamnya. Seperti kandungan batu meteor, pasir malela, timah, iradium, titanium, baja dan unsur lainnya.
"Ciri khas yang mencolok dengan kandungan meteor pada bagian bilah membuat Golok Cakung ini semakin menarik," tuturnya.
Untuk membuktikan adanya kandungan meteor, jelas Agus, pada 2020 lalu Sudin Kebudayaan Jakarta Timur membawa golok tersebut untuk diuji di laboratorium yang ada di Pusat Konservasi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Dari delapan golok yang dibawa, hanya tujuh yang dinilai banyak kandungan meteornya.
"Dari tujuh golok yang ada saat ini, empat diantaranya ada di tempat kami," akunya.
Sementara, Miskun atau Cang Bonok (62), warga Jalan Komarudin, Penggilingan, Jakarta Timur, yang juga salah satu pewaris Golok Cakung mengungkapkan, pihaknya melakukan perawatan secara rutin agar tidak punah.
Dia mengatakan, dirinya melakukan perawatan dengan dibersihkan atau dicuci mengunakan air jeruk dan ada juga yang direndam dengan air kelapa dan beberapa hari kemudian dicuci dengan sabun sampai bersih. Setelah itu dibersihkan lagi sampai hilang asamnya dan dikeringkan total, bisa dilap dengan tisu atau dijemur.
"Setelah kering diolesi minyak khusus untuk golok untuk mencegah agar karat tidak melebar atau menjalar ke mana-mana," bebernya.
Benda Cagar Budaya
Golok Cakung merupakan salah satu benda bersejarah yang dimiliki masyarakat Betawi. Kisah panjangnya sebagai saksi bisu perjalanan sejarah bangsa, mendorong Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan Galok Cakung sebagai warisan budaya bangsa melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 91 Tahun 2022 yang ditetapkan pada 26 Januari 2022.
Dalam SK Gubernur ini disebutkan, Golok Cakung merupakan salah satu senjata tradisional asli Betawi yang digunakan sebagai peralatan perang dan alat pelengkap seni bela diri Silat Cakung. Karena itu, golok ini memiliki nilai budaya sebagai simbol perjuangan bangsa Indonesia.
Penetapan Golok Cakung sebagai cagar budaya, menurut Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi, Beky Murdhani,sebagai satu kebanggaan dan kehormatan bagi masyarakat Betawi, khususnya warga Cakung, Jakarta Timur.
"Ini juga jadi bukti bahwa Jakarta adalah kota perjuangan yang kaya dengan sejarah," kata Beky.
Karena itu, dia meminta jajaran Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dan para pewaris serta pemilik Golok Cakung ini untuk konsisten menjaga dan melestarikan benda tajam ini.
"Kami tentunya mendukung langkah Dinas Kebudayaan melestarikan Golok Cakung," tegasnya.
Upaya menjaga dan melestarikan cagar budaya ini, direalisasikan Pemerintah Kota Jakarta Timur bersama Sanggar Bedok Latih dengan menggelar Festival Golok Cakung, 7 Agustus 2022 lalu di awasan Kanal Banjir Timur (KBT), Jl. Raya Pulogebang RW 3 Pulogebang, Cakung.
"Kegiatan ini sangat positif dan baik untuk masyarakat,” tegas Wali Kota Jakarta Timur, Muhammad Anwar, kala itu.
Anwar mengatakan, Festival Golok Cakung Harmoni merupakan salah satu nilai sejarah yang sangat tinggi dan harus dihargai, serta dipelajari dan diketoktularkan pada yang lain. Utamanya, oleh para generasi muda.
Rencananya pada tahun ini, FestivalGolok Cakung akan kembali digelar pada 12 Oktober nanti di Kanal Banjir Timur (KBT).
"Mari kita lestarikan dan kembangkan, agar generasi muda mencintai sejarah dan budaya bangsanya melalui festival ini," ajak Agus.
Menapak jejak perjalanan golok legenda ini, serasa menggetarkan jiwa yang terlelap dalam dekap lembut hembusan kenang masa lalu...