Sambil duduk bersimpuh, Tinah (50), tampak tekun dan fokus menggunakan canting dengan tangan terampilnya. Goresannya mengaplikasikan malam atau lilin terlihat lentur serta cekatan mengikuti pola di atas selembar kain putih yang terhampar di hadapannya. Sesekali ia mengganti canting dengan kuas kecil untuk mencolet area motif tanaman Lee Kwan Yew dan anggrek yang tengah dibuat.
Di tengah aktivitasnya, tak jarang Tinah menyeka peluh dari dahinya menggunakan tisu agar tak menetes mengenai bahan kain batik yang tengah dicanting.
Butir peluh yang keluar cukup menggambarkan panasnya paparan uap dari tungku lilin pada siang hari itu di tepi pantai Utara Jakarta. Ya, sedari pagi ibu empat anak ini sudah hadir bersama delapan perajin lainnya di Workshop Batik Marunda di Blok A Rumah Susun Marunda yang sudah berdiri sejak tujuh tahun lalu.
Tinah mengaku sudah menjalani aktivitasnya sebagai salah satu perajin Batik Marunda sejak tahun 2015. Dalam sepekan, aktivitas membatik dijalani selama enam hari dengan libur di hari Minggu.
Kepada Beritajakarta.id, Tinah mengaku, keterampilan membatik didapatnya setelah mengikuti pelatihan yang digelar Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di Rusun Marunda. Pelatihan itu digelar bagi para warga, termasuk dirinya yang direlokasi dari kawasan Taman Burung Waduk Pluit, Penjaringan, tahun 2014 lalu.
Sejak direlokasi dan tinggal di Rusun Marunda itulah, ibu yang akrab disapa Entin ini mulai bersahabat dengan kegiatan membatik. Tidak hanya memberikan kesibukan mengisi hari, aktivitas membatik yang telah dijalani lebih dari sembilan tahun itu juga telah memberikan pemasukan tambahan menopang ekonomi keluarganya.
Sebelum direlokasi, Entin mengaku bekerja pada salah satu pabrik di kawasan Penjaringan untuk membantu perekonomian keluarga. Karenanya ia bersyukur setelah direlokasi masih tetap bisa membantu sang suami menghidupi keluarga tanpa kehilangan waktu mengurus empat anaknya.
"Kalau membatik kan waktunya kita bisa menyesuaikan setelah ngurus rumah. Bahkan dulu waktu anak masih ada yang TK, saya sambil ngasuh di sini, " ujarnya.
Diakui Entin, penghasilan yang didapat dari membatik dihitung dari jumlah kain produksi. Dalam sebulan, ia bisa mendapat upah antara Rp 1 - 1,5 juta dari hasil total produksi batik yang rampung dikerjakannya.
Besaran penghasilan itu menurut Entin sangat membantu ekonomi keluarga menambah pendapatan suami yang berprofesi sebagai sopir di salah satu perusahaan swasta di kawasan Penjaringan. Apalagi, waktu bekerja membatik itu menurutnya fleksibel dan tidak membutuhkan ongkos untuk sampai ke tempat kerja.
Aktivitas membatik itu menurutnya juga memberikan kebahagian tersendiri. Dengan berkumpul bersama rekan-rekan sesama perajin, dirinya merasa bisa memanfaatkan waktu bersama untuk kegiatan produktif yang mengasyikkan dan mengusir rasa jenuh atau pikiran negatif.
"Kita kalau di rumah saja malah pusing. Kalau di sini rasanya enak, bisa sambil senda gurau tapi dapat penghasilan," katanya.
Menurut Entin, sejak pagi sekitar pukul 09.00 hingga 17.00, beragam kegiatan ditempuhnya di Workshop Batik Marunda. Secara bergantian, ia bersama rekan-rekannya menuntaskan proses mulai dari menggambar pola, mencanting, mewarnai, celup dan lorot sesuai kesepakatan bersama.
Saat ada pesanan dengan tenggat waktu yang telah ditentukan, tidak jarang mereka harus membawa pekerjaan membatik ke rumah. Meski begitu, ia tetap bisa membagi waktunya untuk mengurus anak dan rumah.
"Alhamdulillah selain penghasilan bulanan, kalau hari raya kami juga dapat THR. Ya besarannya lumayan," selorohnya.
Pengembangan Batik Marunda Butuh Keberpihakan
Pembina Batik Marunda, Irma Gamal Sinurat mengakui, kehadiran Batik Marunda berawal dari upaya Pemprov DKI Jakarta mencarikan solusi bagi warga relokasi yang tinggal di Rusun Marunda. Meski telah menerima dan tinggal di hunian yang lebih layak, warga juga membutuhkan penghasilan.
Sejak direlokasi, Pemprov DKI Jakarta telah menggelar beragam pelatihan bagi warga Rusun Marunda. Namun dari sejumlah pelatihan keahlian yang diberikan, hanya membatik yang masih tetap eksis dan berproduksi dengan brand Batik Marunda.
Ditegaskannya, sejak dibangun hingga saat ini pengembangan Batik Marunda masih tetap sama yakni dengan konsep pemberdayaan warga. Dari awal dikembangkan, sudah lebih dari 70 motif Batik Marunda dihasilkan.
Memiliki ciri khas warna seperti merah, hitam, kuning, hijau dan oranye, Batik Marunda mengusung tema urban, ikon bangunan, serta flora fauna khas Jakarta dalam setiap produknya. Tak hanya itu, para perajin juga pernah memproduksi motif dengan tema kegiatan seperti event Formula E.
"Motif kami memang lebih ke urban Jakarta, flora fauna, gedung ikon Jakarta dan event lainnya," ungkapnya.
Selain melalui galeri khusus di Jalan Lebak Bulus Raya, RT 03/04 Kelurahan Lebak Bulus, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, beragam produk Batik Marunda juga dipasarkan lewat berbagai pameran dan galeri Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) kota/kabupaten serta Provinsi DKI Jakarta.
Usaha untuk mengembangkan Batik Marunda diakui Irma bukan tanpa tantangan. Diterangkan Irma, pengembangan Batik Marunda sempat terdampak COVID-19, bahkan mati suri.
Menurutnya, baru setahun belakangan ini, sisi bisnis Batik Marunda kembali menggeliat. Meski sudah mendapat angin, Irma mengaku pendapatan brand Batik Marunda setiap bulannya masih berada di kisaran Rp 20 juta saja.
Bukannya tidak memiliki konsep, Irma mengaku optimistis pengembangan Batik Marunda ke depan bisa membidik sektor swasta sebagai konsumen. Selain itu, Irma menilai keberadaan Batik Marunda juga tidak hanya sebagai usaha pemberdayaan tapi juga merupakan salah satu produk yang bisa dijadikan suvernir Jakarta dengan pangsa pasar khusus.
Agar bisa sampai level usaha yang mapan, Irma mengakui Batik Marunda masih membutuhkan banyak pengembangan dan peningkatkan kapasitas SDM. Selain pelatihan dan akses dari sektor pemerintah yang mendukung, Irma juga berharap peran swasta bisa memberi sentuhan pada Batik Marunda.
"Termasuk keberpihakan swasta pada usaha pemberdayaan ini. Contoh kecilnya, Seperi perbankan atau perusahan yang punya seragam batik, kenapa harus memesan dari daerah lain kalau di Jakarta juga ada," ucapnya.
Sementara, Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Beky Mardani menegaskan, batik merupakan salah satu produk budaya. Demikian halnya dengan Batik Marunda merupakan produk budaya yang lahir dari hasil karya cipta warga sesuai dengan lingkungan hidupnya.
Menurut Beky, meski tidak mengambil ikon budaya Betawi sebagai tema dan warisan masyarakat betawi, keberadaan Batik Marunda yang mengangkat tema lingkungan Jakarta serta flora fauna adalah produk budaya yang harus dijaga.
Karena itu, Beky menyatakan dukungannya terhadap pengembangan Batik Marunda. Pengembangan itu menurutnya harus dilakukan secara massif dengan pembangunan ekosistem, mulai dari akses informasi, pasar, peningkatan kualitas SDM hingga permodalan.
"Dengan membangun ekosistemnya, perajin batik bisa terus berkreasi membuat karya yang bagus dan dapat di terima pasar," tandasnya.