Kamis, 05 Juni 2014 Reporter: Erna Martiyanti Editor: Widodo Bogiarto 5375
(Foto: doc)
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah merancang pendidikan seksual akan diterapkan di sekolah. Tujuannya agar siswa bisa mengatahui sejak dini terkait bahaya virus HIV/AIDS serta perlindungan diri dari penularan virus mematikan tersebut. Selain itu pendidikan seksual ini juga penting agar pelecehan seksual di sekolah tidak terus terulang.
Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Lasro Marbun mengatakan, nantinya pendidikan seksual akan dimasukan dalam mata pelajaran muatan lokal (mulok). Dalam muatan lokal akan ada silabus terkait cara kerja reproduksi, penyebab, dan penyebaran virus HIV/AIDS serta perlindungan diri dari penularan HIV/AIDS.
"Kami sedang siapkan dan rancang silabus itu. Kami lihat jam pelajaran di sekolah, kalau masih ada (waktu), kita masukkan," kata Lasro, di Balaikota DKI Jakarta, Kamis (5/6).
Menurut Lasro, pendidikan di tingkat keluarga, belum cukup membentengi moral peserta didik. Oleh sebab itu, perlu adanya pendidikan tambahan di sekolah. Karena sebagian besar waktu peserta didik berada di sekolah.
Hal ini, lanjut Lasro, juga bertujuan agar kasus pelecehan seksual, seperti peristiwa di TK Jakarta International School (JIS) dan lainnya jangan sampai terulang kembali. "Jangan sampai siswa dan siswi di Jakarta terjebak ke dalam pergaulan bebas yang merusak masa depan mereka," ucapnya.
Rencana ini merupakan usulan dari Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta. Sebab pengetahuan peserta didik terhadap ancaman bahaya virus HIV/AIDS masih rendah. Sehingga, peserta didik perlu diberi pengetahuan dalam bentuk mata pelajaran, agar terhindar dari virus mematikan tersebut.
Berdasarkan data KPAP DKI, baru 12 persen peserta didik yang memahami pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS. Data ini berdasarkan survei yang dilakukan selama tahun 2013 terhadap 4.274 peserta didik di 146 SMP dan SMA yang tersebar di enam wilayah Jakarta.
Selain peserta didik, survei itu juga mengambil sampel dari tenaga pengajar, guru, kepala sekolah, dan wakil kepala sekolah. Hasilnya, hanya 26 persen yang memahami pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS. Angka ini didapatkan dari sebanyak 352 sampel.