Dodol Betawi Jangan Menepi

Oleh :

Tiyo Surya Sakti

Minggu, 29 Juni 2025 | 119

Dari salah satu sudut Jakarta, tepatnya di Jalan Damai Baru, RT 08/04, Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, tercium aroma khas nan menggugah selera. Para pemelihara cita rasa kuliner khas Jakarta, Dodol Betawi terus bertahan dan berinovasi di tengah maraknya makanan dari luar daerah hingga luar negeri yang menggoda indera pengecap.

Ketelatenan dan kesabaran harus dilalui hari demi hari, meniti proses panjang untuk meracik semua bahan sampai Dodol Betawi siap dinikmati para pembeli.Tangan-tangan terampil pembuat Dodol Betawi Sari Rasa Syarifah Hairiyah (Ibu Yuyun) yang sudah teruji bertahun-tahun tak lelah bertahan agar asap di dapur bisa terus mengepul untuk mempertahankan eksistensi Dodol Betawi dan menafkahi keluarga.

Satu per satu bahan pembuatan Dodol Betawi, mulai dari tepung beras ketan, gula merah aren, gula putih dan santan kelapa dimasukkan ke wajan besar yang disebut Kenceng. Tidak sembarangan, semua dilakukan sesuai takaran atau komposisi yang sudah diresepkan turun-temurun. Agar semakin menggugah selera dan diminati, saat ini dilakukan inovasi dengan menambahkan Durian sebagai bahan tambahan.

Kayu-kayu pohon Rambutan dan Sawo yang mengisi tungku mulai dinyalakan untuk memasak adonan hingga semakin mengental. Penuh irama, adonan terus diaduk menggunakan spatula berukuran besar seperti dayung yang disebut Senggayuan.

Sesekali para pembuat Dodol Betawi harus memperhatikan penyalaan api di tungku agar pas untuk menghasilkan hasil adonan yang diinginkan. Saat gelembung di adonan mulai terlihat, pengadukan Dodol Betawi semakin diintensifkan dan biasa berlangsung hingga berjam-jam hingga betul-betul mengental.

Peluh yang membasahi tubuh, menjadi bukti betapa proses panjang itu penuh dengan perjuangan yang patut serta sudah semestinya siapa pun kita dapat menghargai jasa para pejuang penjaga kuliner khas Betawi agar bisa tetap ada dan dinikmati.

Syarifah Hairiyah (Yuyun) mengatakan, di lokasi produksi seluas 5x10 meter persegi terdapat 12 tungku untuk membuat Dodol Betawi. Namun, semua tunggu baru menyala saat ramai pesanan. Terutama, di bulan Ramadan atau menjelang Lebaran.

"Kalau hari biasa itu hanya dua tungku saja yang dipakai. Saya terus berusaha mempertahankan usaha Dodol Betawi yang sudah dirintis sejak 1980 oleh keluarga," tuturnya beberapa waktu lalu.

Ia mengaku bersyukur, Dodol Betawi yang diproduksinya masih diminati pembeli, meski tidak dapat dipastikan jumlah penghasilan setiap harinya. Dodol Betawinya biasa dijual Rp 25 ribu hingga Rp 130 ribu tergantung pada ukuran atau kemasan. Saat ramai, pesanan bisa mencapai hingga ribuan kemasan. Namun, sejak terjadi COVID-19, penjualan semakin menurun.

"Jualannya di rumah saja setiap hari, jadi pelanggan yang sudah tahu rasa dan kualitas pasti datang kemari. Tapi, terkadang setiap hari Minggu kami juga pasarkan di acara keagamaan di daerah Kwitang," terangnya.

Sebagai generasi ketiga, Yuyun memastikan, terus mempertahankan cita rasa makanan kuliner tradisional khas Betawi yang terkenal dengan tekstur kenyal dan rasa yang manis serta gurih dan berwarna coklat kehitaman ini. Salah satunya, dengan cara pembuatannya yang masih tradisional dan menggunakan kayu bakar.

"Mempertahankan cita rasa ini sangat penting. Jadi, meski kita ada varian rasa seperti durian, tetap tidak menghilangkan orisinalitasnya," ungkapnya.

Menurutnya, kudapan yang populer saat Lebaran ini memiliki filosofi yang religius yang artinya manusia tidak bisa memisahkan diri dari kekuatan campur tangan tuhan. Pemilihan bahan pembuatannya pun memiliki arti seperti penggunaan beras ketan melambangkan keeratan dan kebergantungan manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, beras ketan membuat makanan menjadi lengket dan susah dipisahkan.

Namun, jika melihat dari sisi kehidupan sosial, Dodol Betawi disebut juga melambangkan gotong royong karena prosesnya yang lama dan melibatkan banyak orang. Selain itu, Dodol juga sebagai kuliner untuk mempererat silaturahmi karena biasa menjadi kudapan wajib saat ada acara pernikahan, Idulfitri, dan Iduladha.

Salah seorang karyawan pengaduk Dodol Betawi Ibu Yuyun yang sudah setia menemani prosesnya sejak tahun 1988, Rohiman (53) mengaku memilih menjadi pengaduk dodol karena dahulu merantau, tapi tidak punya keahlian dan dokumen pendukung untuk melamar pekerjaan kantoran.

Hampir 37 tahun lamanya, Rohiman setia menjadi pengaduk dodol borongan atau dengan upah harian. Dalam sehari, dirinya bersama sesama pengaduk dodol lainnya biasa mengaduk adonan hingga matang selama empat hingga lima jam lamanya.

Jika menyelesaikan pembuatan satu wajan besar atau Kenceng, dirinya akan mendapatkan upah sekitar Rp 160 ribu, tempat tinggal atau mess, hingga makan serta minum dari pemilik usaha.

"Dodol di sini saya jamin kualitasnya oke, dibuatnya juga penuh rasa sabar dan teliti," imbuhnya.

Kuliner Wajib Lebaran

Sementara itu, Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Beky Mardani menjelaskan, Dodol di tanah Betawi konon sudah ada sejak abad kesembilan Masehi. Ia pun mengenang, Dodol Betawi menjadi kuliner yang wajib disajikan di rumahnya saat Lebaran. Proses membuatnya pun turut melibatkan para tetangga karena membutuhkan waktu setidaknya lima jam.

"Untuk membuat dodol itu kita bergotong royong karena untuk mengaduk adonan dalam durasi lama memerlukan banyak tenaga. Setelah jadi, mereka yang membantu juga ikut dibagi Dodol yang sudah dibuat tadi. Ada semangat kebersamaan," bebernya.

Ia menegaskan, Dodol Betawi biasa dibuat dari bahan-bahan terbaik dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sehingga, pada masa lampau, Dodol Betawi juga menunjukkan status sosial. Dahulu, para pemuda Betawi juga harus memiliki kemampuan untuk mengaduk Dodol. Bahkan, hal itu juga menjadi salah satu penilaian jika ingin mencari pasangan.

Beky berharap, eksistensi Dodol Betawi bisa terus terjaga. Sehingga, berbagai cara dan upaya perlu terus dilakukan untuk melestarikan dan membuat Dodol Betawi semakin dikenal luas.

Ia mengajak agar pelaku usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pembuat Dodol Betawi untuk senantiasa memperhatikan kualitas hingga membuat kemasan yang menarik.

"Dodol Betawi ini saya usulkan bisa dibuat kemasan yang lebih menarik dan bisa dibuat berukuran kecil-kecil agar harga jualnya semakin murah dan terjangkau seluruh lapisan masyarakat," harapnya.

LKB, lanjut Beky, akan mendorong agar kuliner khas Betawi ini dapat menjadi sajian atau jamuan, baik saat rapat di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta maupun saat ada tamu yang datang.

"Kalau demand tinggi, tentu kita juga membantu para pelaku UMKM pembuat Dodol Betawi yang saat ini juga tidak banyak jumlahnya agar bisa terus eksis. Jangan sampai Dodol Betawi menepi, apalagi hilang di Jakarta," tandasnya.